TS Yth.
Pada tanggal 14 Februari y.l telah diadakan sosialisasi yang disponsori oleh POLDA dan Balai POM (?) yang membahas tentang akan diadakannya penertiban terhadap praktek kedokteran di Kalimantan Timur, khususnya di 3 kota besar yaitu Balikpapan, Samarinda dan Tarakan. Dapat ditebak setelah melihat pensponsor acara ini, bahwa penertiban itu lebih banyak ditujukan kepada praktek menyimpan obat di praktek2 dokter pribadi (dispensing). Dinas Kesehatan Kota dianjurkan melakukan 'pembinaan' kepada profesi2 terkait agar tidak terkena penertiban tersebut.
Walaupun sosialisasi tersebut menggunakan uu dan permenkes yang sudah kadaluarsa (UU No. 23 th 1992 dan permenkes no. 1419 tahun 2005), tapi pada prakteknya UU Praktek kedokteran (UU No. 29 tahun 2004) dan permenkes no. 512 tahun 2007 juga tidak banyak membenarkan praktek dispensing obat oleh dokter, kecuali di daerah terpencil.
UU Praktek Kedokteran/UU no. 29 tahun 2004
Pasal 35
(1) Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi mempunyai
wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan
kompetensi yang dimiliki, yang terdiri atas:
a. mewawancarai pasien;
b. memeriksa fisik dan mental pasien;
c. menentukan pemeriksaan penunjang;
d. menegakkan diagnosis;
e. menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien;
f. melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi;
g. menulis resep obat dan alat kesehatan;
h. menerbitkan surat keterangan dokter atau dokter gigi;
i. menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan; dan
j. meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di daerah
terpencil yang tidak ada apotek.
Dari pasal2 tersebut yang menjadi masalah adalah pada butir i dan j. Untuk lebih jelasnya mari kita lihat penjelasan dari pasal ini:
Huruf i
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kewenangan bagi dokter dan dokter gigi untuk menyimpan obat selain obat suntik sebagai upaya untuk
menyelamatkan pasien.
Obat tersebut diperoleh dokter atau dokter gigi dari apoteker yang memiliki izin untuk mengelola apotek. Jumlah obat yang disediakan terbatas pada kebutuhan pelayanan.
Apapun alasannya, sebenarnya jika undang-undang sudah mengatur demikian, dokter sebagai juga warga negara yang baik seyogyanya harus mentaatinya, tentunya menyesuaikan dengan kondisi dan situasi di tempat praktek yang bersangkutan. Tapi perlu kita cermati, pasal2 selanjutnya dari undang-undang ini tidak mengatur hukuman atas dokter yang menyimpan obat. Tidak ada juga disebutkan berapa sebenarnya jumlah obat yang terbatas pada kebutuhan pelayanan? Semua itu diharapkan dapat diatur dalam permenkes, namun dalam permenkes yang menjadi penjelasan dari undang-undang ini, tidak disebut-sebut lagi masalah distribusi obat tersebut.
Di sinilah sebenarnya IDI sebagai organisasi profesi bisa masuk dan berbuat sesuatu. Menyalurkan aspirasi anggotanya dan menerjemahkannya menjadi suatu sistem yang dapat diusulkan pada Pemerintah untuk menjadi pertimbangan untuk penetapan keputusan selanjutnya. Dan bagi anggota IDI yang kebetulan terkena "sweeping" (koq serem amat ya, emangnya dokter tu kriminal apa...), jangan ragu-ragu untuk mengontak IDI setempat, atau langsung ke IDI Wilayah untuk mendapatkan pembelaan. Dan bagi seluruh anggota IDI... pelajarilah sebanyak-banyaknya peraturan tentang praktek kedokteran... supaya tidak gampang didoktrinasi oleh pihak-pihak yang ... yang mendoktrinasi. :).
Sejalan dengan semua itu, IDI Wilayah Kaltim sudah dan terus akan mencari dan melakukan langkah-langkah persuasif kepada pihak-pihak yang terkait seperti kepolisian, organisasi-organisasi profesi yang terkait, dinas kesehatan propinsi, dinas kesehatan kota dan kabupaten, selain tetap juga mengadakan sosialisasi kepada anggota secara langsung maupun melalui IDI2 cabang tentang peraturan2 kesehatan dan situasi terkini dari isu-isu semacam ini.
0 komentar:
Posting Komentar